Beliau adalah sayyidah wanita seluruh alam pada zamannya, putri keempat dari Rasulullah SAW dan ibunya Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Allah menghendaki kelahiran Fathimah kurang dari lima tahun sebelum Nabi diutus, dekat dengan peristiwa yang agung yaitu di saat orang-orang Quraisy rela menyerahkan hukum kepada Muhammad tentang perselisihan yang hebat di antara mereka untuk meletakkan Hajar Aswad setelah diadakan pembaharuan Ka’bah. Beliau Alaihis Shalatu Wassalam dengan kecerdikan akalnya mampu menyelesaikan problem dan mencegah pertumpahan darah antara kabilah-kabilah di Arab.
Rasulullah SAW mendapat kabar gembira atas kelahiran putrinya dan tampaklah barakah serta keberuntungan. Beliau memberikan julukan kepada Fathimah dengan “az-Zahra’”. Beliau dikunyahkan pula dengan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya)[1] Beliau r.a. adalah yang paling mirip dengan ayahnya Muhammad SAW.
Fathimah tumbuh dalam rumah tangga nabawi yang penuh kasih sayang. Nabi melindungi, menjaganya, dan tekun mendidik beliau agar beliau mengambil bagian yang cukup dari adab, kasih sayang dan nasihat nabawi yang lurus. Hal yang menggembirakan ibunya, Khadijah r.a. adalah sifat Fathimah yang baik, lemah lembut dan terpuji.
Dengan sifat-sifat itulah Fathimah tumbuh di atas kehormatan yang Sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan dan akhlak yang baik mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah SAW yang menjadi contoh agung bagi Fathimah dan sebagai teladan yang baik dalam seluruh tindak-tanduknya.
Manakala usia Fathimah mendekati usia lima tahun, mulailah suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada beliau. Fathimah pun turut merasakan mula pertama ujian dakwah. Beliau menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap mara bahaya.
Beliau juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap ayahnya yang agung, sehingga beliau berangan-angan seandainya saja dia mampu, maka akan ditebus dengan nyawanya untuk menjaga beliau dari gangguan orang-orang musyrik. Hanya saja ketika itu beliau masih kecil.
Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan yang kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Sehingga, pemboikotan dan kelaparan tersebut berpengaruh kepada kesehatan beliau. Sehingga sisa umurnya yang panjang beliau alami dengan lemahnya fisik.
Belum lagi az-Zahra kecil keluar dari ujian pemboikotan, tiba-tiba wafatlah ibunya yaitu Khadijah r.a. yang menyebabkan jiwa beliau penuh dengan kesedihan, penderitaan dan kesusahan.
Setelah wafatnya ibunda beliau, beliau merasakan ada tanggung jawab dan pengorbanan yang besar dihadapannya untuk membantu ayahnya Nabi Muhammad SAW yang sedang meniti jalan yang keras di jalan dakwah kepada Allah. Terlebih-lebih, setelah wafatnya pamanda beliau Abu Thalib dan istri beliau yang setia yakni Khadijah r.a..
Sehingga berlipat gandalah kesungguhan dan beban Fathimah dalam memikul beban dengan sabar dan teguh mengharap pahala Allah. Beliau mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya yang mana ibunya adalah seorang ibu yang paling utama dan istri yang paling mulia. Dengan sebab itulah Fathimah diberi gelar dengan “Ibu dari ayahnya.”[2]
Ketika Rasulullah r.a. mengizinkan bagi para shahabat untuk hijrah ke Madinah, beliau menjaga rumah yang agung yang mana tinggal pula di dalamnya Ali bin Abi Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah SAW. Beliau tidur di tempat tidurnya Rasulullah SAW untuk mengelabuhi orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka bahwa Nabi belum keluar). Selanjutnya Ali menangguhkan hijrah beliau selama tiga hari di Makkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah SAW yang telah berhijrah.[3]
Setelah hijrahnya Ali, maka hanya Fathimah dan saudara wanitanya Ummi Kultsum yang masih tinggal di Makkah sampai Rasulullah SAW mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya yakni pada tahun ketiga setelah hijrah. Ketika itu umur Fathimah telah mencapai 18 tahun. Beliau melihat di Madinah para muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah SAW menyatukan antara kaum Muhajirin dan Anshor, sedangkan beliau SAW mengambil Ali r.a. sebagai saudara.[4]
Menikahnya Rasulullah SAW dengan sayyidah ‘Aisyah r.a. maka orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar az-Zahra setelah mereka tadinya menahan diri karena keberadaan dan tugas Fathimah di sisi Rasulullah SAW.
Di antara sahabat yang melamar az-Zahra adalah Abu Bakar dan Umar, akan tetapi Nabi SAW menolak dengan cara yang halus.[5] Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. mencoba mendatangi Nabi untuk meminang Fathimah. Ali bercerita:
Aku ingin mendatangi Rasulullah SAW untuk meminang putri beliau yaitu Fathimah. Aku berkata, “Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa.” Kemudian aku ingat akan kebaikan beliau SAW maka aku beranikan diri untuk meminangnya. Nabi SAW bersabda kepadaku, “Apakah kamu memiliki sesuatu?”
Aku berkata, “Tidak ya Rasulullah.” Kemudian beliau bertanya, “Lantas di manakah baju besi al-Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?” “Masih aku bawa ya Rasulullah.” Jawabku. Selanjutnya Nabi SAW bersabda, “Berikanlah barang itu kepada Fathimah sebagai mahar.”[6] Segeralah Ali pergi dan sebentar kemudian datang dengan membawa baju besi. Rasulullah SAW memerintahkan kepada beliau untuk menjualnya, kemudian hasilnya sebagai perlengkapan pernikahan.[7] Akhirnya baju besi tersebut dibeli oleh Utsman bin ‘Affan r.a. dengan harga 470 dirham. Lalu Ali menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW. Maka, beliau menyerahkan sebagian uang tersebut kepada bilal untuk dibelikan parfum dan wewangian, sedangkan sisanya diserahkan kepada Ummu Salamah r.a. untuk dibelikan perlengkapan pengantin.
Selanjutnya, Nabi SAW mengundang para sahabat dan mempersaksikan kepada mereka bahwa beliau telah menikahkan putrinya Fathimah dan Ali bin Abi Thalib dengan mahar 400 mitsqal perak menurut sunnah yang lurus dan berdasarkan faridhah yang wajib. Beliau mengakhiri khotbah nikahnya dengan memohonkan barakah kepada Allah bagi kedua mempelai serta mendoakan mereka agar menjadi keluarga yang shalih. Setelah itu beliau menyambut para tamu yakni para sahabat yang mulia yang tersedia di hadapan mereka dengan buah kurma.[8]
Pada malam pernikahan az-Zahra bersama Farisul Islam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW memerintahkan Ummu Salamah agar membawa pengantin putri ke rumah Ali bin Abi Thalib yang telah dipersiapkan sebagai tempat tinggal mereka berdua, dan beliau meminta agar mereka berdua menunggu beliau di sana.
Setelah shalat Isya’, Rasulullah SAW mendatangi keduanya, kemudian beliau meminta diambilkan air dan beliau berwudhu dengannya lalu menuangkan air tersebut kepada mereka berdua seraya berdoa:
“Ya Allah berkahilah keduanya, berikanlah barakah atas mereka dan berkahilah keturunan mereka berdua.”[9]
Maka, bergembiralah kaum muslimin dengan pernikahan az-Zahra dan imam Ali r.a. Datang pula Hamzah paman Rasulullah dan juga paman Ali dengan membawa dua biri-biri kemudian disembelih lalu para sahabat memakannya di Madinah.
Belum genap satu tahun setelah pernikahan keduanya, Allah mengaruniakan penyejuk pandangan kepada Fathimah dan kekasihnya dengan lahirnya cucu pertama dari Rasulullah SAW yang diberi nama Hasan bin Ali, pada tahun ketiga setelah hijrah. Hal itu menggembirakan Nabi SAW dengan kegembiraan yang besar, maka didengungkanlah adzan ke telinga bayi, dan digosoklah langit-langit mulut bayi tersebut dengan kurma serta diberi nama “Hasan”, lalu digundullah kepalanya dan disedekahkanlah perak seberat rambut tersebut kepada orang-orang fakir.
Belum lagi umur Hasan berumur satu tahun menyusul kemudian lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun 4 Hijriyah.[10]
Maka terbukalah hati Nabi SAW terhadap kedua cucunya yang berharga yakni Hasan dan Husein. Sungguh, beliau melihat bahwa kedua cucunya memiliki arti khusus bagi kehidupan beliau di muka bumi ini, maka beliau melimpahkan kecintaan dan kasih sayang yang dalam kepada keduanya. Tatkala turun ayat:
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. alAhzab: 33).
Adalah Nabi ketika itu bersama Ummu Salamah r.a. dan beliau mengundang Fathimah, Ali, Hasan dan Husein kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berdoa:
“Ya Allah inilah ahli baitku, Ya Allah hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”
Demikianlah Rasulullah SAW mengulanginya tiga kali kemudian beliau melanjutkan doanya:
“Ya Allah jadikanlah shalawat-Mu dan barakah-Mu terlimpah kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia.”[11]
Kemudian diikuti buah yang penuh barakah yakni Fathimah melahirkan anak wanita pada tahun 5 Hijriyah yang oleh kakeknya diberi nama Zainab. Setelah berselang dua tahun, lahir seorang anak wanita lagi yang diberi nama oleh Rasulullah SAW Ummi Kultsum.
Karena itulah Allah telah mengaruniakan kepada az-Zahra nikmat yang agung karena keturunan Nabi hanya diteruskan oleh anaknya, demikian pula Allah telah menjaga mereka yang memiliki silsilah keturunan yang paling mulia yang dikenal oleh manusia.
Karena kecintaan Rasulullah SAW kepada putrinya yakni Fathimah, apabila pulang dari safar, beliau masuk masjid lalu shalat dua rekaat kemudian mendatangi Fathimah baru kemudian mendatangi istri-istri beliau. Telah diceritakan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a., “Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAW dalam berbicara melebihi Fathimah, apabila dia masuk menemui Nabi, maka Nabi berdiri untuk menyambutnya dan menciumnya serta melapangkan tempatnya. Begitu pula sebaliknya perlakuan Fathimah terhadap Nabi.”[12]
Sungguh Rasulullah SAW telah menggambarkan kecintaannya kepada putri beliau yang mulia tatkala beliau berkhutbah di mimbar:
“Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dagingku, maka barangsiapa yang menjadikan dia marah berarti telah menjadikan aku marah.”
Dan dalam riwayat lain:
“Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari potongan dagingku, maka barangsiapa yang mendustainya berarti mendustaiku dan barangsiapa yang mengganggunya berarti dia mengganggu diriku.”[13]
Sekalipun demikian melimpahnya kecintaan ini, akan tetapi Nabi SAW menjelaskan kepada putrinya dan juga yang lain agar senantiasa beramal dan berbekal takwa. Suatu hari beliau berdiri dan berseru:
“Wahai sekalian orang-orang Quraisy jagalah diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat membantu kalian di sisi Allah sedikit pun, wahai… wahai. .. wahai Fathimah binti Muhammad mintalah kepadaku hartaku yang kamu sukai, aku tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah sedikit pun.”
Dalam riwayat lain:
“Wahai Fathimah binti Muhammad selamatkanlah dirimu dari neraka, karena sesungguhnya aku tidak kuasa memberikan madharat dan manfaat di sisi Allah.”[14]
Dari Tsauban r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW masuk ke rumah Fathimah sedangkan ketika itu aku bersama beliau SAW. Fathimah mengambil kalung emas dari lehernya seraya berkata, “Ini adalah kalung yang dihadiahkan Abu Hasan kepadaku.” Maka beliau bersabda, “Wahai Fathimah apakah engkau senang jika orang-orang berkata, ‘Inilah Fathimah binti Muhammad sedangkan di tangannya ada kalung dari neraka?‘”
Kemudian beliau memarahi Fathimah dengan keras dan menghardiknya, kemudian beliau keluar tanpa duduk terlebih dahulu. Maka Fathimah mengambil sikap untuk menjual kalungnya, kemudian hasilnya beliau belikan seorang budak wanita setelah itu beliau merdekakan. Tatkala hal ini sampai kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari neraka.”[15]
Maka kedudukan yang telah diraih oleh Fathimah r.a. di sisi ayahnya Rasulullah SAW tersebut tidak manghalangi Rasulullah SAW memarahinya, mencelanya bahkan mengancamnya dan bahwasanya sekali-kali Rasulullah SAW tidak dapat menolong Fathimah dari kehendak Allah. Bahkan beliau juga memberikan ancaman, seandainya dia mencuri, maka akan ditegakkanlah hukum atasnya yakni hukum potong tangan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang seorang wanita al-Makhzumiyah yang mencuri kemudian kaumnya memintakan ampunan agar wanita tersebut bebas melalui Usamah bin Zaid bin Haritsah kekasih Rasulullah SAW, maka beliau bersabda:
“Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya akan aku potong tangannya,”[16]
Bahkan lebih dari itu, dengan kapasitas kecintaan Nabi SAW yang sangat mendalam kepada Fathimah, beliau lebih mendahulukan pemberiannya kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan daripada Fathimah, sekalipun beliau menghadapi sulit dan susahnya kehidupan. Ali r.a. berkata kepada Fathimah r.a., “Alangkah lelahnya engkau wahai Fathimah sehingga menyedihkan hatiku. Sungguh Allah telah memberikan tawanan kepada Rasulullah, maka mintalah kepada beliau satu tawanan saja yang akan membantumu dalam bekerja!” Fathimah menjawab, “Akan aku lakukan, insya Allah.” [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Fotnote:
[1] Lihat Siyaru A’lam an-Nubala’ (I/119).
[2] AI-Ishabah dan Asadul Ghabah (Vll/25).
[3] Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (ll/ 129).
[4] Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (ll/150) dan aI-Istii’ab (llI/1098)
[5] Thabaqat Ibnu Sa’ad (VII/11).
[6] Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/12)
[7] Shahih aI-Bukhari dalam Kitabul Buyu’ dan Musnad Ahmad (Il/142).
[8] AI-Ishabah (VIII/158)
[9] Thabaqat Ibnu Sa’ad (Vlll/15) dan aI-Ishabah (VIII/158).
[10] Sebagai tambahan tentang biografi Hasan dan Husein lihatlah biografi keduanya dalam Kitabul Manaqib dari Shahihul Bukhari dan al-Fadha’il dari Shahih Muslim.
[11] Lihat Shahih Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah, bab: Keutamaan Ahli Bait Nabi SAW (no. 2424), aI-Musnad (IV/ 107), (VI/292) dan aI-Hakim (lll/146-147).
[12] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam aI-Adab bab: Berdiri (no. 5217) dan at-Tirmidzi dalam aI-Manaqib, bab: Manaqib Fathimah binti Muhammad SAW, (no. 3871) dan aI-Hakim dalam aI-Mustadrak (III/154) dishahihkan dan disepakati oleh adz Dzahabi.
[13] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Fadha’ilush Shahabah, bab: Keutamaan Putri Nabi SAW. (no. 2449).
[14] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Tafsir Suratusy Syu’ara’, bab: Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat (VI/16) dan Muslim dalam al-Iman. bab: Firman Allah Ta’ala, Fa Andzir ‘Asyiratakal Aqrabiin, (no. 206).
[15] Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam az-Zinah (Vlll/158) dan aI-Hakim (lll/152-153).
[16] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitabul Hudud, bab: Menerapkan sangsi bagi yang berkedudukan mulia dan yang lemah (VIII/16) dan Muslim dalam aI-Hudud, bab: Potong Tangan Bagi Yang Berkedudukan Mulia dan Yang Lain, (no. 1688)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar