Berbicara ketika khatib sedang berkhutbah
Mendengarkan khutbah Jumat dan diam ketika khatib sedang menyampaikan khutbah termasuk perkara yang tidak boleh dianggap sepele, karena hukumnya wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbicara atau tidak menyimak khutbah dalam banyak hadits. Di antaranya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika Engkau berkata kepada temanmu, ‘Diamlah’; padahal khatib sedang berkhutbah, maka Engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menjelaskan,
“Perkataan Nabi, (فَقَدْ لَغَوْتَ), maksudnya adalah: tercegah dari mendapatkan pahala shalat Jumat. Hal ini dikuatkan dengan penjelasan dari riwayat lainnya,
وَمَنْ لَغَا فَلا جُمُعَةَ لَهُ
“Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka tidak ada (pahala) shalat Jumat untuknya.” (HR. Ahmad 1: 230)” (Syarh ‘Umdatul Ahkaam, 2: 353)
Hadits ini menunjukkan bahwa ancaman dalam syariat itu ada dua macam, bisa berupa (1) hilang atau tercegah mendapatkan pahala, atau (2) datangnya hukuman yang menyakitkan. Jika terdapat ancaman, baik dalam bentuk pertama atau ke dua, hal ini sama saja untuk menunjukkan haramnya perbuatan yang diancam.
Mengingatkan teman dengan mengatakan “Diamlah” hanyalah memalingkan sebentar dari konsentrasi mendengarkan khutbah. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan sia-sia. “Laghwu” (sia-sia) ini menyebabkan shalat Jumat tersebut tidak ada nilainya. Padahal maksud dari perkataan tersebut adalah untuk mengingatkan dan menasihati. Lalu bagaimana lagi dengan orang yang diingitkan, yang sejak tadi berbicara ketika khutbah? Dan bagaimana lagi dengan perkataan sia-sia yang lebih parah dari itu?
Ibnu Hajar rahimahullahu Ta’ala berkata,
إذا جعل قوله أنصت مع كونه أمرا بمعروف لغوا فغيره من الكلام أولى أن يسمى لغوا
“Jika perkataan ‘Diamlah’ itu dinilai perkataan yang sia-sia, padahal perkataan tersebut termasuk dalam amar ma’ruf nahi munkar, maka perkataan lainnya lebih layak lagi untuk disebut perbuatan sia-sia.” (Fathul Baari, 2: 415)
Melaksanakan jual beli setelah panggilan adzan Jumat yang ke dua (sebagaimana adzan zaman ‘Utsman, yaitu adzan setelah khatib naik di atas mimbar)
Tidak boleh melaksanakan jual beli setelah panggilan adzan Jumat. Jika jual beli tetap dilakukan, maka jual beli tersebut tidak sah (menurut pendapat yang paling kuat) karena jual belinya itu sendiri yang dilarang. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala melarang aktivitas jual beli setelah panggilan adzan untuk shalat Jumat, yaitu panggilan adzan yang ke dua. Konsekuensi dari adanya larangan tersebut adalah jual beli tersebut menjadi tidak sah jika tetap dilaksanakan.
Inilah beberapa kesalahan umum di hari Jumat, semoga dapat diambil manfaat oleh kaum muslimin. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah taufik kepada kita agar dapat berpegang dengan sunah.
(Santri Tv/Rafi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar