Minggu, 24 Maret 2019

Ruh Seorang Guru

Pada tahun 2002 di Gontor diselenggarakan sebuah lokakarya pendidikan. KH Imam Badri Pimpinan Pondok Modern Gontor minta disiapkan sepotong kayu dan Golok sebagai “wasa’ilul idhoh” (alat peraga). Kemudianbeliau menyampaikan sambutan, yang kurang lebih isinya sebagai berikut:

“Di Gontor ini, berlaku sebuah slogan, yaitu “At-Thariqoh Ahammu min Al-Maaddah” artinya: cara mengajar itu lebih penting dari pada kurikulum. Sebaik apapun kurikulum, kalau cara menyampaikannya salah, maka hasilnya juga akan salah.

Contohnya begini (beliau lalu mengambil kayu dan golok), ini Kayu ini sudah kering, tentu mudah sekali untuk di potong. Dan golok ini juga tajam, maka akan mudah memotong kayu ini.

Tapi coba lihat, bagaimana kalau cara memotongnya seperti ini (beliau memotong kayu tersebut dengan agak pelan dan dengan posisi golok yang terbalik, beliau memukul kayu dengan bagian yang tumpul dari golok itu) terus habis itu roko’an, dipotong lagi begini, terus habis itu guyonan, terus dipotong lagi begini, terus habis itu ditinggal ditinggal tidur, ini kapan kayu ini akan terpotong?? Padahal kayunya kering dan goloknya tajam.

Tapi kalau kita memotongnya cara betul dan bersungguh-sungguh dengan cara seperti ini (beliau memukul kayu itu dengan bagian yang tajam, beliau memukul dengan keras sehingga dua kali pukulan saja kayu tersebut patah) maka kayu ini akan lekas terpotong.

Inilah makna “At-Thariqatu Ahammu min Al-Maaddah”. “Ruhul Mudarris ahammu min kulli syaiin” Ruh seorang pengajar itu lebih penting dari semuanya.

Sebab kalau mengajar tapi tidak ada ruh pengajarnya, maka kita hanya akan seperti Robot.

Mengajar hanya untuk cari gaji, mengajar hanya untuk naik jabatan, mengajar hanya untuk dapat pujian, apakah muridnya mengerti atau tidakd dia tidak peduli.

Padahal orang ngajar bedes (KERA) saja sudah usaha mati-matian, bedesnya diajari pakai topeng, diajari nggitar, diajari jungkir balik, diajari sholat, itu tidak boleh pakai kekerasan, harus sabar, harus telaten.

Itu ngajar bedes, lha padahal kita ini mengajar anak manusia yang punya akal, bisa menilai, mampu berfikir, kenapa begini, kenapa disuruh begitu, lalu bagaimana kita hendak mengajara kalau Ruh pengajarnya saja kita ini tidak punya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar