Ketika Sang Pujangga Mengkritisi Penguasa
Tulisan ini diilhami oleh sebuah Mahfudzat (Syair Bahasa Arab) karya Hifnu Nashif Bik (wafat 1919).
Boleh dibilang bahwa Mahfudzat ini mengritik atau setidaknya mencermati perilaku para penguasa, baik yang terpilih dengan sistem demokrasi, monarki dan sebagainya. Sebagaimana judul Mahfudzatnya من شعر حفن ناصف بك
المتوفى سنة ١٩١٩م
يخاطب أحد الرؤساء
Dalam bait pertama digambarkan bahwa para penguasa umumnya berjanji manis terutama pada masa kampanye, seperti janji pendidikan gratis, pengobatan gratis, pembangunan infrastruktur yang masif hingga harga bahan pokok yang murah. Memang perkara-perkara tersebut menjadi keinginan setiap warga negara. Hanya saja faktanya jauh panggang dari api. Sehingga sang pujangga justru tidak percaya sama sekali dengan semua janji. Bahkan sudah menjadi aksioma dengan adanya sistem Pilkades, Pilbup, Pilkada dan Pilpres mengakibatkan perpecahan persaudaraan, renggangnya pertemanan dan maraknya manusia bunglon sebab perbedaan pilihan dan jagoan.
Dalam Mahfudzatnya diungkapkan
أحييتَ آمالي وكنتُ أمتّها # من طول ما لاقيتُ من إخواني.
Bait kedua menjelaskan betapa dahsyatnya para pendukung/warga masyarakat memperjuangkan dan membela kehormatan para penguasa. Mereka rela mendayagunakan badan dan lisan. Contohnya dengan memakai kaos atau baju yang ada gambar jagoan mereka, mobilpun dihiasi gambar sang idola, belum lagi baliho dan dinding rumah untuk pasang gambar mereka. Juga hadir ke kampanye atau deklarasi yang tentu saja memerlukan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan dana.
Lisan juga tidak kalah peranan dalam megupayakan kemenangan kandidat yang dihagokannya. Diungkapkan segala kelebihan dan dibela segala kekurangannya, persisi yang diungkapkan Imam Syafi’i وعين الرضا عن كل عيب كليلة، كما أن عين السخط تبدي المساويا. Kalau pinjam bahasa orang yang sedang mabuk asmara: jika cinta sudah melekat, tai kucingpun rasa coklat he he. Tidak cukup lisan, tulisan juga sangat viral membela siapapun yang didukungnya. Media sosial tidak jarang justru menjadi wahana saling hujat dan serang dalam bentuk perang tagar, meme, opini dan seterusnya.
Bunyi bait kedua tersebut adalah أدلي بإخلاصي و أذوذ عن أعراضهم بجوارحي و لساني.
Bait ketiga mengungkapkan fakta yang jamak terjadi yaitu setelah warga masyarakat dengan penuh suka cita membela dan memperjuangkan kandidat jagoannya menjadi penguasa maka tragisnya sang penguasa mulai lupa dengan mereka.
Dulu ketika masih menjadi calon rajin dan semangat datang berbaur kepada rakyat untuk tabligh akbar, kampanye, deklarasi dukungan, kuliah umum dan seterusnya. Namun begitu jadi penguasa sibuk dengan urusannya saja. Pinjam bahasa santri, jangan sampai ketika masih calon rajin ngaji Ayat Kursi, begitu sudah dapat ‘kursi’ lupa ayat.
Bait yang menjelaskan kondisi paradoks tersebut adalah محضتهم ودّي فلما أيسروا كانت بداية أمرهم نسياني.
Setelah mafhum dengan realita di atas maka sang pujangga menegaskan urgensi persahatan dan persaudaraan karena iman (ukhuwwah imaniyah) yang harus diutamakan daripada faktor keturunan (ukhuwwah nasabiyah), faktor kelompok/organisasi/partai/halaqah (ukhuwwah hizbiyah), faktor nasionalisme (ukhuwwah wathaniyah) dan faktor kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah/insaniyah).
Jangan sampai karena ‘hanya’ perbedaan pandangan dan pilihan dalam pilkades hingga pilpres menjadikan terputusnya silaturrahmi, silatulwuddi, silaturrizqi dan silatulilmi sesama umat Rasulullah Muhammad SAW.
Sang teladan utama dan idola sebenarnya telah mengajarkan kaidah dalam mencintai dan membenci seseorang seperti dalam mafhum sabdanya : cintailah kekasihmu sewajarnya saja, bisa jadi suatu saat kamu akan membencinya dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja karena mungkin kamu akan mencintainya suatu saat nanti. BENCI bisa jadi BENar-benar CInta, SENGIT mungkin berubah jadi SEnangnya selaNGIT. احبب حبيبك هوناما عسى أن يكون بغيضك يوما ما، وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوماما.
Teman terbaik adalah yang membawa kepada kebaikan dan menjadi asbab masuk surga.
Bait penutupan berbunyi حسبي من الدنيا صديق ثابت، فكنه ولااحتياج لثاني
والله المستعان أعلم بالصواب.
Bogor Barat, Rabu 9 Muharram 1440 H/ 19 September 2018 M
Penikmat Mahfudzat,
Muhlisin Ibnu Muhtarom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar