Selasa, 08 Januari 2019

PSIKOTRAPI PERSPEKTIF AL GHAZALI

PSIKOTRAPI PERSPEKTIF AL GHAZALI
Oleh: Dudun Ubaedullah, M.Ag

Pendahuluan

Perkembangan teknologi saat ini tidak saja berdampak pada kemajuan dan modernisasi di berbagai bidang yang memudahkan manusia dalam menjalankan berbagai aktivitas sehari-hari. Perubahan tersebut menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dan mengikuti perubahan tersebut. Arus informasi yang demikian deras karena teknologi membuat ruang private menjadi ruang publik dan mudah dikonsumsi orang lain. Tentunya ada manusia yang dapat mudah menerima dan beradaptasi dengan kondisi tersebut, tetapi di sisi lain tuntutan tersebut menjadikan individu lainnya dihadapkan kepada problem karena pada dasarnya tidak semua individu mampu beradaptasi dengan cepat. Munculnya problem tersebut otomatis menimbulkan konflik batin dalam diri mereka sehingga diperlukan cara efektif untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Kemajuan teknologi tersebut mengubah sebagian budaya manusia ke arah materialistis dan individualistis sehingga cenderung menempatkan manusia pada posisi yang tidak lagi memiliki kepribadian merdeka karena otomatisasi mesin secara tidak sadar telah mengatur kehidupan mereka sehingga mereka terjebak kepada rutinitas yang menjemukan. Kesibukannya kepada hal-hal yang bersifat materi dan bergaya hedonisme tersebut membuat kesadaran keagamaan menjadi berkurang. Dalam kondisi tersebut terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan materi dan kebutuhan rohani. Dari sinilah kemudian seringkali muncul konflik atau krisis mental. Krisis Krisis mental tersebut biasanya terjadi akibat dari terhalangnya seseorang dari apa yang di inginkan oleh salah satu motifnya yang kuat atau dipengaruhi oleh kondisi sosial dan moral dirinya sendiri. Orang akan menjadi sasaran kegalauan psikologis dan fisik, jika ia tidak mampu mengatasi krisis psikologis dengan cara yang cepat dan tepat.[1] Salah satu upaya mengatasi problem tersebut adalah melalui psikoterapi.

Psikoterapi adalah serangkaian metode berdasarkan ilmu-ilmu psikologi yang digunakan oleh para profesional (psikologi, guru, konselor, dsb) untuk mengatasi gangguan kejiwaan atau mental seseorang. Psikoterapi bertujuan memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang positif mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang dalam; membantu klien mengembangkan potensinya; mengubah kebiasaan dan  membentuk tingkah laku baru; mengubah struktur kognitif; meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan meningkatkan pengetahuan diri dan insight, hubungan antar pribadi, lingkungan sosial individu,  proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran tubuh melalui latihan-latihan fisik, status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol dan kreativitas diri.[2]

Fitrah manusia

Pemahaman fitrah Secara etimologi menggambarkan konsep dasar struktur kepribadian, secara terminologi menggambarkan integritas hakekat struktur kepribadian, dan secara nasabi menggambarkan aktivitas, natur, watak, kondisi, dan dinamisme kepribadian. Berkaitan hal tersebut, Al-Ghazali memandang bahwa aktivitas, watak dan kondisi manusia pada dasarnya memiliki potensi yang baik karena dalam perspektif Al-Ghazali hakikat manusia sebagai al-ruh al-rabbaniyyah yang berarti manusia memiliki potensi dari sifat-sifat ilahiyah. Hal ini menunjukkan bahwa potensi dasar manusia atau tabiat, watak asli manusia adalah positif.

Untuk mencapai fitrah tersebut manusia memiliki dua kebutuhan, yaitu kebutuhan mutlak dan kebutuhan terikat (muqayyad).[5]  Kebutuhan mutlak (kebutuhan vertikal) adalah kebutuhan seseorang kepada Allah Swt untuk mendapatkan petunjuk agar mengenal Allah Swt, yang kemudian dikenal dengan istilah metaneeds. Adapun kebutuhan terikat (muqayyad) adalah kebutuhan seseorang atas orang lain atau makhluk Allah Swt lainnya.  Kebutuhan muqayyad ini digunakan untuk memperoleh sesuatu yang dapat mengantar seseorang melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Hubungan dua kebutuhan tersebut merupakan media dan sarana untuk melaksanakan kewajiban manusia mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Pandangan Al-Ghazali tersebut dapat dilihat dari hasil karyanya yang membahas mengenai adab dalam kitab Ihya ulum al-Din. Dalam kitab itu Al-Ghazali menyebutkan bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya seperti makan, minum, berpakaian, cinta dan kasih sayang yang seharusnya. Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksud Al-Ghazali secara jelas tampak mengandung nilai-nilai moral dalam pemenuhannya. Sekalipun kebutuhan tersebut dalam tingkat rendah jika didasari akhlak yang baik maka kebutuhan tersebut memiliki nilai baik. Sebaliknya, sekalipun kebuthan tersebut adalah kebutuhan yang memliki sifat tertinggi, harga diri misalnya, apabila dicapai melalui perilaku yang tidak berakhlak baik maka kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang rendah.

Gambaran mengenai kebutuhan manusia di atas menjelaskan bagaimana manusia harus dapat mengendalikan kebutuhan-kebutuhan tersebut agar mencapai tujuan tertinggi, yaitu untuk dapat mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pergerakan hati (I’rab al-qalb) dan penilaian akal (al-’aql) terhadap doronga-dorongan yang muncul sangat berperan dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dorongan-dorongan tersebut ke dalam sebuah perilaku manusia.

Struktur Kepribadian

Al-Ghazali membagi manusia dalam 4 (empat) bagian, yaitu al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-‘aql. Keempat bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pertama al-qalb, merupakan esensi dari manusia sekaligus menjadi obyek pertanggungjawaban terhadap perilaku manusia. Terdapat tingkatan pergerakan al-qalb menurut Al-Ghazali, yaitu raf’, fath, khafd, dan waqf.[6] Kondisi al-qalb berada pada tingkatan pertama ketiak seseorang melakukan zikir kepada Allah melalui muraqabah, hilangnya penyimpangan, dan lestarinya kerinduan. Ketika seseorang merasakan hatinya terbuka manakala ia rdha kepada Allah yang diaktualisasikan dalam bentuk tawakal, tulus, dan yakin maka al-qalb dalam kondisi fath. Namun di saat individu menyibukkan diri dari selain Allah Swt yang ditandai dengan perilaku bangga diri, riya, dan tamak maka sesunguhnya ­al-qalb seseorang dalam kondisi khafad. Kondisi yang terburuk dari al-qalb pada situasi waqf adalah disaat perilaku individu lalai dari Allah Swt dnegan ciri hilangnya rasa manis ketaatan, tiadanya rasa pahit kemaksiatan, dan ketidakjelasan halal.

Kedua, makna al-ruh memiliki arti seperti udara yang dibawa darah hitam dan disebarkan ke bagian tubuh melalui perataraan pembuluh darah. Al-ruh juga dimaknai Al-Ghazali sebagaimana makna latifah yaitu esensi manusia sekaligus obyek perbuatan yang menjadi pertanggung jawaban individu.

Ketiga, al-nafs sebagai emosi dan hasrat (ghadab dan syahwat) yang merupakan inti dari manusia dan bagian terpenting dalam kajian tasawwuf. Kondisi al-nafs individu mengalami tingkatan secara berturut-turut dari tingkatan terendah hingga tingkatan tertinggi yaitu al-nafs ammarah bi al-su, al-nafs lawwamah, dan al-nafs al-mutmainnah. Derajat al-nafs ini bergantung kepada usaha individu untuk mengendalikan dan mengarahkan emosi dan hasrat. Semakin baik individu mengendalikan keduanya dan cenderung mengarahkan pendekatan diri kepada Allah Swt maka semakin tinggi derajat al-nafs tersebut sampai pada tingkat al-nafs al-mutmainnah.

Keempat, al-aql. Kajian yang memiliki relevansi dengan pembahasan ini terdapat dua makna yaitu pengetahuan tentang hakikat suatu permasalahan, dan kedua dalam makna latifah sepert makna dari ketiga terima sebelumnya.

Motivasi

Makna motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu. Seseorang dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang.

Dalam perspektif tasawwuf, motivasi ditunjukkan melalui mekanisme ghadab dan syahwat (emosi dan hasrat). Hal ini pula konsep yang digunakan oleh Al-Ghazali dengan term yang berbeda. Al-Ghazali menjelaskan motivasi melalui term junud al-qalb (tentara hati).[7]

Ada 3 (tiga) fungsi dari junud al-qalb dalam konsep motivasi ini. Pertama, sebagai pembangkit dan pendorong sekaligus motif, kedua sebagai impuls, dan ketiga sebagai instrumen pengetahuan dan pencerapan (kognitif).[8] Kekuatan kognitif ini meliputi daya persepsi (al-hiss al-musytarak), imjainasi (khayal), daya pikiran, ingatan, dan hafalan.[9] Proses pencerapan tersebut keduanya bekerja seara sistematis dan saling berkaitan satu sama lain.

Al-Ghazali membagi dua macam junud al-qalb, yaitu junud al-qalb dalam makna fisik dan junud al-qalb dalam makna psikis. Sistem perilaku manusia dalam perspektif Al-Ghazali terjadi karena adanya hubungan antara hati, emosi, dan hasrat di mana hati merupakan pusat dari perilaku tersebut yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai raja.[10]

Junud al-qalb dalam arti fisik berfungsi sebagai penggerak tubuh atas perintah hati. Panca indera seperti tangan, kaki, mata, telinga, dan lidah merupakan anggota junudl al-qalb yang bertugas melayani dan mengikuti perintah hati. Dalam pengertian fisik ini junud al-qalb berfungsi untuk memenuhi segala kebutuhan fisiologis dirinya sendiri seperti makan dan minum.

Selanjutnya, ghadab dan syahwat (emosi dan hasrat) merupakan bagian dari junud al-qalb dalam arti psikis. Ghadab (emosi) berfungsi sebagai impuls yang melawan atau menolak dari sesuatu (motif menjauh), sedangkan syahwat (hasrat) berfungsi sebagai impuls yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu (motif mendekat). Motif mendekat merupakan penyebab munculnya motivasi yang terjadi karena dorongan instrinsik, dan motif menjauh menjadi penyebab timbulnya motvasi yang didasarkan oleh dorongan luar individu (ekstrinsik). Atas konsep tersebut Al-Ghazali menggunakan term al-sabab al-dakhili (motif instrinsik) dan al-sabab al-khariji (motif ekstrinsik).[11]

Teori motivasi di atas bukanlah teori motivasi yang sesungguhnya dimaksudkan Al-Ghazali pada manusia. Perilaku motivasional manusia sesungguhnya adalah sebuah perilaku yang didasarkan atas pengetahuan dan kehendak (iradat). Pengetahuan manusia melalui akalnya juga memiliki keinginan (dorongan), namun dorongan yang bersumber dari akal berbeda dengan dorongan yang bersumber dari hasrat (syahwat). Dorongan yang bersumber dari akal cenderung perilaku untuk mendapatkan kemaslahatan bagi dirinya.

 Emosi

Hakikat emosi dalam perspektif Al-Ghazali adalah gejolak dalam hati yang cederung mengarah kepada dendam. Al-Ghazali menyatakan bahwa gejolak dalam hati berupa emosi ini harus senantiasa berada dalam posisi seimbang (al-I’tidal), yaitu dengan melakukan training untuk memperkuat dorongan emosi apabila dirasa emosi yang muncul cenderung melemah (al-Tafrith), misalnya sifat kurang percaya diri atau rendah diri, dan menguranginya apabila dirasa emosi yang muncul cenderung menguat (al-Ifrath) yang mengakibatkan kepada hal-hal bersifat negatif (fawakhish) seperti iri dan dengki.[12] Usaha untuk mengendalikan emosi dimaksud adalah melalui riyadhah al-nafs.

Usaha untuk dapat menyeimbangkan emosi melalui riyadhah al-nafs ini didasarkan atas pemahaman Al-Ghazali tentang al-nafs  yang menyatakan bahwa dalam al-nafs mengandung makna ghadab (emosi) dan syahwat (hasrat). Dalam konteks tasawuf kedua term tersebut memiliki makna negatif yang berbeda dengan pemaknaan al-nafs sebagai hakikat manusia (latifah). Dalam perspektif ini terdapat tiga tingkatan sesuai dengan keadaan hati (qalb), yaitu al-nafs al-mutmainnah, al-nafs al-lawwamah, dan al-nafs al-ammarah bi al-suu. Urutan ini menggambarkan hirarki dari tinggat tertinggi hingga tingkat terendah.

Kondisi hati dalam tingkat tertinggi yaitu di mana eksistensi manusia berada pada posisi al-nafs al-mutmainnah berada dalam keadaan tenang dan tentram serta terhindar dari sikap gelisah yang diakibatkan oleh adanya berbagai macam ambisi manusia. Keadaan manusia pada tingkat ini merupakan kepribadian supra kesadaran manusia. Hal tersebut disebabkan karena kepribadian manusia pada tahap ini merasakan ketenangan dalam menerima keyakinan fitrah manusia (ruh al-munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi. Kondisi hati dalam tingkat ini tercermin dari perilaku manusia yang memilki keimanan, keyakinan, ikhlas, sabar, tawakal, jujur, berani, dan segala bentuk perilaku yang bermotivasi pada teosentris.

Lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa kalbu yang mendominasi kepribadian mutmainnah tersebut mampu mencapai ma’rifat melalui zawq (cita rasa) dan kasyf (batin manusia).[13] Adapun Ibn Khaldun menyatakan bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh akal yang secara substansial dapat mengetahui kondisi di alam amar. Namun demikian, potensi tersebut tidak dapat tercapai diakibatkan oleh adanya penghalang pada penginderaan. Apabila penghalang tersebut hilang maka ia dapat menembus pengetahuan alam amar tersebut.[14]

Apabila seseorang dalam kondisi gelisah pada dasarnya ia berada dalam kondisi berseteru dengan emosi (ghadab) dan nafsu (syahwat). Situasi hati dalam keadaan tersebut menurunkan peringkat hati dalam tingkatan kedua, yaitu hati dalam posisi al-nafs al-lawwamah. Dalam kondisi semacam ini pada dasarnya seseorang telah berupaya untuk meningkatkan kualitas dirinya yang telah dibantu oleh nur kalbu namun watak gelapnya ikut memengaruhi dalam pembentukan kepribadian sehingga ia menjadi bimbang. Kondisi ini pada akhirnya akan muncul pada tiga kemungkinan, yaitu pertama, tertarik pada watak gelapnya yang berarti ia berada pada kualitas terendah. Kedua, berada pada posisi netral yang artinya perilaku yang dilakukan tidak bernilai buruk atau bernilai baik. Ketiga, lebih didominasi oleh nur kalbu sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki kualitasnya.

Apabila kondisi perlawanan al-qalb dengan emosi dan hasrat lebih didominasi oleh emosi (ghadab) dan nafsu (syahwat) maka nafs turun peringkat yang paling rendah yaitu al-nafs al-ammarah bi al-suu. Perilaku ini cenderung pada prinsip-prinsip hedonistik (pleasure principle). Sesungguhnya kondisi ini berada pada kondisi di bawah sadar manusia dan ia tidak lagi memiliki identitas manusia yang sesungguhnya karena nilai-nilai fitrah manusianya telah hilang.

Kondisi ini menggambarkan bagaimana emosi (ghadab) menguasai daya kalbu manusia. Ibn Maskawaih dan Al-Ghazali menyatakan bahwa “apabila daya ghadab mencapai puncaknya maka ia mampu mencapai keberanian (al-syaja’at). Keberanian merupakan keutamaan nafsu ghadab yang dikendalikan oleh akal (al-nathiqat).[15]

Konflik dan Macam-macamnya

Konflik terjadi akibat dari adanya dorongan yang timbul bersamaan yang kemudian dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan. Al-Ghazali memandang bahwa konfilk terjadi di saat kondisi hati berlawanan dengan kebaikan (ammarah bi al-su’). Pemahaman ini terlihat dari pandangan Al-Ghazali tentang fitrah manusia dan struktruk kepribadian sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Pemahaman konflik juga dialami oleh Al-Ghazali dalam perjalanannya menuju tasawwuf sebagaimana dia tulis pada karyanya al-Munqidz min al-Dlalal. Dalam karya tersebut tergambar bagaimana konflik batin yang dirasakan al-Ghazali saat itu dalam pilihannya antara karir dan dorongan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui meditasi (‘Uzlah). Melalui metode tersebut (‘uzlah) Al-Ghazali mampu meredam dan menetralisif konflik batinnya dan sekaligus mampu mencapai aktualisasi diri (transendensi ilahi).

Dengan demikian konflik sebagai bagian dari psipatologis terjadi di saat adanya dorongan ke sisi duniawi dan dorongan menuju kehidupan ukhrawi di sisi lain. Psipatologis ini dapat mengakibatkan kepada penyimpangan fitrah manusia yang pada akhirnya dapat menghilangkan identitas kemanusiaannya.

Dalam perspektif psikologi tedapat 4 (empat) jenis konflik[16], yaitu (1) konflik yang bersifat pilihan semata. Sekalipun terdapat banyak pilihan namun pilihan-pilihan itu menuju satu tujuan. Reaksi psikologis terhadap konfil ini tidak pernah berupa reaksi yang tidak wajar bahkan pada dasarnya seringkali tidak terdapat konfilik yang subyektif. (2) Pilihan antara dua jalan menuju tujuan yang sama yang bersifat pokok. Konflik jenis ini apabila keputusan telah diambil, biasanya konflik tersebut hilang. (3) Konflik yang bersifat pilihan yang ditujukan pada tujuan yang berbeda. Dalam hal ini keputusan pilihan biasanya tidak dapat meredakan konflik karena putusan itu melepaskan sesuatu yang hampir sama pentingnya dengan yang dipilih. (4) Konflik yang merupakan bencana besar. Alternatif pilihan yang tersedia berdampak pada efek yang menakutkan, atau kalau tidak hanya ada satu kemungkinan (konflik avoidance).

Konflik juga terjadi karena adanya dorongan dari luar individu. Konflik dapat terjadi dikarenakan terganggunya hubungan atara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatanyang lain sehingga salah satu dari keduanya merasa saling terganggu. Beberapa hal yang sering menyebabkan adanya konflik batin anatara lain:[17]

  1. Agresi, yakni menunjukkan bahwa konflik terjadi karena perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
  2. Kehilangan, merujuk pada perpisahan traumatik individu terhadap suatu benda atau seseorang yang sangat berarti.
  3. Kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian terhadap faktor pencetus konflik.
  4. Kognitif, depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap dirinya, dunia seseorang dan masa depannya.
  5. Ketidak berdayaan, trauma bukanlah satu-satunya faktor menyebabkan masalah tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendaliterhadap hasil yang penting dalam kehidupannya.
  6. Perilaku, perkembangan dari kerangka teori belajar sosial bahwa penyebab terjadinya konflik dalam diri terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
  7. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
  8. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi – pribadi yang berbeda.
  9. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok

Upaya penyelesaian konflik

Psikoterapi yang ditawarkan Al-Ghazali dalam menyelesaikan berbagai konflik yang cenderung mengarah kepada situasi frustasi telah disebutkan dalam karyanya yang berjudul al-Qawaid al-‘Asyr berikut ini:[18]

  1. Konsistensi dan ketulusan niat. Niat yang konsisten dan kuat dapat mengoptimalkan kekuatan hati untuk menolak segala konflik batin dan melakukannya semata-mata demi pengabdian kepada Allah Swt.
  2. Ikhlas yang ditujukan hanya semata-mata karena Allah Swt. Konflik yang muncul dalam diri seseorang pada dasarnya diakibatkan oleh adanya ambisi jiwa yang dapat menggeser fitrah manusia ke arah yang sesat. Melalui motivasi yang kuat seseorang dapat mengalihkan ambisi jiwa tersebut untuk tetap berada pada fitrahnya.
  3. Penyesuaian diri dengan kehendak Allah Swt dengan cara melakukan pengendalian nafsu dan bersabar baik ketika senang maupun susah.
  4. Tidak melakukan bid’ah. Segala perilaku yang dihasilkan hendaknya ada tata laksana yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. Dengan berpedoman kepada ajaran Rasulullah saw dapat meyakinkan hati atas sebuah kebenaran.
  5. Memiliki cita-cita yang tinggi dengan tidak menunda pekerjaan.
  6. Merasa lemah dan hina di hadapan Allah swt. Melalui sikap ini dapat menghilangkan rasa rendah diri dan keterasingan dari masyarakat karena sikap ini menunjukkan bahwa dirinya memiliki posisi yang sama dengan makhluk lainnya, tidak ada kekuatan selain kekuatan Allah Swt.
  7. Memiliki sifat khauf dan Raja (takut dan pengharapan) hanya kepada Allah Swt. Sikap ini menghasilkan perilaku manusia yang selalu berpikir positif baik kepada Allah Swt maupun sesama manusia.
  8. Melakukan wirid secara berkelanjutan pada hak Allah Swt maupun hak makhluk.
  9. Senantiasa melakukan muraqabah, yaitu suatu kondisi di mana seseorang merasakan bahwa Allah Swt selalu melihat dan memperhatikan segala gerakan dan perbuatannya.
  10. Senantiasa memohon kepada Allah Swt untuk dapat menaati Allah Swt.

Psikoterapi yang ditawarkan Al-Ghazali di atas secara jelas menunjukkan bahwa Al-Ghazali tetapi konsisten dalam filosofisnya tentang al-nafs al-insani yaitu fitrah manusia yang bersifat al-ruh al-rabbaniyyah. Konflik-konflik yang terjadi dalam jiwa manusia pada dasarnya adalah bentuk penyimpangan dari fitrah manusia. Oleh karena itu psikoterapi yang diberikan adalah upaya-upaya yang mengarahkan jiwa seseorang agar kembali kepada fitrahnya. Psikoterapi atas konflik jiwa yang muncul tersebut dialami Al-Ghazali sebagaimana dia tulis dalam al-Munqidz min al-dlalal yang membawanya ke dunia tasawwuf.[19]

Tasawuf mengajarkan tentang hidup yang bahagia sebagai upaya dalam penyelesaian konflik. Makna hidup bahagia meliputi hidup dengan sehat baik secara fisik maupun batin. Dengan hidup dengan bahagia maka problem individu yang menimbulkan konflik batin tidak akan pernah didapatkan. Untuk menangani konflik batin, yang biasa dilakukan oleh para psikoterapis terhadap kliennya antara lain hipnoterapi, neurolinguistic program dan spiritual thinking. Sedangkan secara Islam teknik yang biasa digunakan adalah takholli, tahlli dan tajalli. Dengan metode semacam ini, diharapkan bagi seseorang dapat menemukan solusi atas permasalahannya. Hal ini sering disebut dengan self therapy atau penyembuhan atas dirinya sendiri. Akan tetapi untuk penggunaan teknik pada setiap  implementasinya berbeda-beda, tergantung dari masalah yang dialami.

ENDNOTE

[1] Waslah, “Peran Ajaran Tasawuf Sebagai Psikoterapimengatasi Konflik Batin”, At-Turats, Vol. 11 No. 2 (2017) 153-161, h. 153.

[2] Lukman Nul Hakim, “Psikoterapi al-Quran sebagai Sebuah Konsep dan Model”, Intizar, Vol. 19, No. 1 (2013), h. 70.

[3] Jalal Muhammad Musa, Nasy’at al-Asy’ariyyat wa Tathawwaruha, (Beirut: Darul Kitab al-Banani, 1975), cet. Ke-1, h. 415.

[4]Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-ghazali, Terj. Al-Ghazali – The Mistic, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 1-57.

[5] Al-Ghazali, Raudat al-Talibin wa ‘Umdat al-Salikin, dalam Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, (Beirut: Darul Fikr, 1996), h. 150.

[6] Al-Ghazali, Minhaj al-‘Arifin, dalam Majmu’at Rasail al-Ghazali, (Beirut: Darul Fikr, 1996), h. 214.

[7] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut: Darul Fikr, 1994),  jilid III, h. 7.

[8] Ibid.

[9] Al-Ghazali, Raudat al-Talibin wa ‘Umdat al-Salikin, h. 115.

[10] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, op.cit., h. 8.

[11] Ibid., h. 178.

[12]Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (Beirut: Darul Fikr, 1994),  h. 178.

[13]Al-Ghazali, al-Munqiz, h. 206.

[14] Abd al-Rahman ibn Khaldun, h. 476.

[15] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 332.

[16] Abraham H. Maslow, Motivasi dan Kepribadian, jilid I, terj. Motivation and Personality, (Jakarta: LPPM, 1994), h. 132-133.

[17] Waslah, op.cit., h. 158.

[18]Al-Ghazali, Al-Qawa’id al-‘Asyr, dalam Majmu’ al-Rasalil al-Imam al-Ghazali, (Beirut: Darul Fikr, 1996), h. 429-432.

[19]Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dlalal, dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali, (Beirut: Darul Fikr, 1996), h. 538-540.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar