Sejarah yang dihadirkan negeri ini dianggap tidak lengkap. Hal itu terkait peristiwa meletusnya 10 November 1945, yang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Setidaknya itu yang diyakini KH Abdul Ghoffar Rozien.
Bagi Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini, peristiwa 10 November 1945 tidak berdiri sendiri. Peristiwa bersejarah itu hadir dari serangkaian peristiwa yang juga tidak bisa dihilangkan dalam sejarah berdirinya Indonesia.
“Padahal kan tidak mungkin peristiwa yang sedemikian besar, yang katanya memakan korban para syuhada (pejuang yang meninggal di jalan Allah) sampai puluhan ribu orang, itu kan pasti ada yang mengawali,” katanya.
Pria yang akrab disapa Gus Rozien ini menceritakan, selepas merdeka pada 17 Agustus 1945 tidak lantas membuat Indonesia dapat menjalankan pemerintahannya dengan tenang. Masih ada serangkaian upaya-upaya dari pihak asing yang ingin menguasai Indonesia.
Salah satunya adalah pendaratan tentara sekutu di Jakarta dan Surabaya. Tentara sekutu mendarat di Jakarta pada 15 September 1945. Dalih yang digunakan adalah untuk melucuti sisa-sisa tentara Jepang yang kalah perang dari sekutu.Presiden Soekarno kemudian meminta fatwa kepada KH Hasyim Asy’ari (salah satu pendiri NU). Soekarno meminta sesuatu yang dapat dijadikan landasan hukum bagi rakyat Indonesia, terutama umat Islam, untuk mempertahankan kemerdekaan.
Permintaan itu ditanggapi Hasyim Asy’ari dengan mengeluarkan fatwa. Isinya perjuangan membela tanah air bagi umat Islam adalah jihad fi sabilillah (berperang melawan musuh di jalan Allah). Resolusi jihad pertama itu keluar pada 17 September 1945.
“Ini sesuatu yang cukup baru. Ini adalah ijtihad ulama Indonesia karena ini kan menjadi basis nasionalisme di Indonesia,” ucap Gus Rozien.
Tak lama, meletuslah peristiwa perobekan bendera Belanda pada 18 September 1945 di Hotel Yamato atau Hotel Oranye di jalan Tunjungan Nomor 65, Surabaya. Sekarang bernama Hotel Majapahit.
Pengibaran bendera tiga warna itu untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina. Buntutnya, ‘perang kecil’ berkobar di hotel.
“Kemudian salah satu dari anggota Anshor naik ke puncak Hotel Oranye dan merobek bendera tiga warna. Salah satu dari tiga warna itu menjadi merah putih. Namanya Muhammad Asy’ari,” ujarnya.
Usai peristiwa itu, para kiai kemudian membentuk barisan tentara yang populer dengan sebutan “Tentara Allah” (Hizbullah) dan “Jalan Allah” (Sabilillah).
Gugun El-Guyanie dalam “Resolusi Jihad Paling Syari’i” (2010), menyebutkan, Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah dibentuk menjelang akhir pemerintahan Jepang. Latihan kemiliteran laskar dilakukan di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Laskar Hiszbullah di bawah komando spiritual KH Hasyim Asy’ari. Secara militer dipimpin KH Zaenul Arifin. Sedangkan Laskar Sabilillah dipimpin KH Masykur.
Narasi berlanjut pada perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang oleh laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah pada 23-24 September 1945.
Pada 5 Oktober 1945, Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Anggotanya dari para pejuang eks PETA, KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan pemuda lainnya. Kemudian mereka diminta mendaftar ke kantor-kantor Badan Keamanan Rakyat (BKR) setempat.
Dalam rentang 15 hingga 20 Oktober 1945, meletus pertempuran lima hari di Semarang. Menurut Gugun, insiden ini bermula dari meninggalnya Dr Karyadi yang sedang memeriksa keadaan air minum di Candi, yang telah meracuni Jepang.
Ekskalasi yang meningkat itulah kemudian membuat Soekarno meminta fatwa kembali kepada KH Hasyim Asy’ari. Dari Jakarta, Presiden Soekarno mengutus orang untuk menghadap KH Hasyim Asy’ari yang tinggal di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang.
Seperti diungkapkan Gugun, KH Hayim Asy’ari mengenal baik Soekarno karena sempat nyantri, minta amalan, dan berpuasa selama empat puluh hari di Ponpes Tebuireng, Jombang.
Melalui utusannya itu, Soekarno menitipkan pertanyaan, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Alquran. Sekali lagi membela tanah air?”
Salah satu pendiri NU ini mengumpulkan kiai dan ulama se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober di Kantor PB Ansor NU Jawa Timur jalan Bubutan VI Nomor 2, Surabaya.
Agendanya membahas situasi perjuangan dan langkah-langkah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Usai pertemuan, Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi jihad.
“Yang perlu dicatat, saya lupa nama-namanya, tetapi ulama ini tidak hanya ulama NU sebetulnya. Ada ulama dari Al Irsyad, Muhammadiyah, ada ulama lain yang hadir pada perumusan resolusi jihad itu,” kata Gus Rozien.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menjelaskan, isi resolusi jihad yang kedua itu berbunyi, membela tanah air hukumnya wajib bagi setiap individu.
“Barang siapa mati dalam membela tanah air, dia syahid. Barang siapa berkhianat, bekerja sama dengan penjajah boleh dibunuh. Itu KH Hasyim Asy’ari fatwanya,” katanya.
Dalam tulisannya, Gugun memaparkan detail resolusi jihad kedua itu. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
Ketiga, musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
Keempat, umat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
Kelima, kewajiban tersebut adalah sebuah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (Fardhu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 kilometer (jarak di mana umat Islam diperkenankan salat jama’ dan qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 kilometer tersebut.
Tak ayal, kiai dan ulama serta santri dari berbagai daerah di Jawa Timur mulai berdatangan ke Surabaya untuk berperang. Ulama dari Pasuruan, Blitar, Bangil, bahkan hingga ke selatan sampai Malang.
“Bahkan ada Kiai Abbas dari Cirebon, (Pondok Pesantren) Buntet. Sumplai bambu runcing dari Parakan, Temanggung, Magelang. Dari daerah itu dikirim melalui kereta api pada 22 Oktober,” ucap Gus Rozien.
Setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata.
Narasi kemudian berlanjut pada kedatangan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Kedatangan tentara NICA yang membonceng pasukan Inggris pimpinan Brigadir Jenderal (Brigjen) Mallaby, Panglima Brigade ke-49 Divisi ke-46 India itu, terjadi pada 24 Oktober 1945. Selang beberapa hari, pertempuran berlangsung.
Bentrokan memuncak dengan meninggalnya Brigjen Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur pada 30 Oktober 1945.
Ia tewas setelah mobil yang ditumpanginya meledak. Tidak hanya sang jenderal, sopir dan ajudannya juga ikut mati.
“Itu yang masang bom di mobil Brigjen Jenderal Mallaby, bukan tentara, tapi santri (Pondok Pesantren) Tebuireng, Jombang, namanya Harun. Ia pun ikut mati,” ujar Said Aqil Siradj.
Usai peristiwa itu, peperangan terus berlangsung hingga mencapai puncaknya pada 10 November 1945 tentara Inggris menyerang kota Surabaya secara membabi-buta.
Terkait peristiwa bersejarah itu, Said Aqil Siradj menjelaskan, santri memiliki peran yang sangat besar yakni berkorban demi mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI.
“Tidak ada perlawanan yang sengit, kalau tidak ada resolusi jihad KH Hasyim Asy’ari. Tidak ada resolusi Haysim Asy’ari, kalau tidak ada Nahdlatul Ulama. Tidak ada Nahdlatul Ulama, kalau tidak ada santri,” katanya menegaskan.
Martin van Bruinessen, dalam bukunya “NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,(1994), seperti dikutip Gugun menyatakan, resolusi jihad berdampak besar mengobarkan semangat 10 November 1945. Namun, resolusi jihad itu tidak mendapatkan perhatian sejarawan.
Rais Aam PBNU KH MA’ruf Amin menjelaskan, ketika itu tentara belum terkonsolidasi begitu juga dengan polisi. Lantas, siapa kemudian yang menggerakkan di saat tidak ada tokoh yang menggerakkan perlawanan.
“Di situlah tampilnya KH Hasyim Asyari untuk memberikan fatwa jihad yang kemudian menjadi resolusi jihad itu. Yang mewajibkan umat Islam untuk melawan penjajah,”
Ia menambahkan, yang bergerak kemudian tidak hanya santri, dalam arti orang yang belajar di pesantren, tapi masyarakat juga ikut tergerak. Termasuk Bung Tomo.
“Semua itu jadi gerakan, gerakan santri untuk Indonesia. Sebenarnya santri ini bukan sejak 22 Oktober saja. Cuma itu dalam konteks pembelaan terhadap negara. Tapi perjuangan santri itu sejak sebelum merdeka. Jadi kebangkitan nasional terinspirasi gerakan ini,” katanya menuturkan.
Sumber: cnnindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar