Takdir Allah menghendaki tiada seorang pun di antara anak laki-laki Rasulullah SAW yang hidup lama, saat orang-orang Arab mengaitkan kehormatan dengan banyaknya anak laki-laki dan mereka senang dengan banyak keturunan. Mereka juga berbangga-bangga dengan memiliki banyaknya anak, sebab banyaknya anak dan kekuatan merupakan letak kewibawaan dan kesenangan dalam masyarakat tersebut. Sebagai bukti adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Muththalib kakek dari Rasul yang mulia SAW tatkala orang-orang Quraisy menganggap dia lemah karena sedikitnya anak, akhirnya dia bernadzar, bahwa seandainya dia memiliki anak hingga sepuluh maka dia akan mengorbankan yang satu, akan tetapi tatkala lahir anak yang kesepuluh, mereka menghalangi Abdul Muththalib yang hendak menyembelih salah satu anaknya untuk Allah di dekat ka’bah.[1]
Diriwayatkan pula bahwa para pemuka kaum yang memerangi Muhammad SAW dan dakwah beliau seperti ‘Ash bin Wa’il, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, Abu Lahab, Abu Jahal dan sebagainya mereka mengolok-olok Nabi SAW dengan kata “Abtar” (yang terputus). Yang mereka maksudkan adalah terputus dengan wafatnya semua anak laki-laki nabi. Salah seorang di antara mereka mengatakan, “Jauhilah Muhammad, sebab dia akan mati tanpa generasi penerus dan berakhirlah dakwahnya.”[2]
Jelaslah bahwa dengan riwayat tersebut dan riwayat yang lain menjadi bukti yang terang tentang kebanggaan mereka dengan anak yang banyak di tengah masyarakat Arab dahulu. Allah SWT menurunkan surat at-Takatsur yang mencela tentang kebiasaan kebanggaan dan kesombongan tersebut.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.”
Benarlah pada saat di mana Rasulullah SAW diuji dengan hilangnya anak-anak laki-laki dan hidupnya anak-anak wanita, Rasulullah SAW adalah sebagai teladan yang baik bagi orang-orang yang beriman, dan sebagai permisalan yang tinggi, bagi para bapak dan para pendidik di seluruh masa yang mana kaum muslimin melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya yang menyentuh perasaan kebapakan mereka paling dalam. Dan juga meninggalkan kesan bagi mereka tentang perasaan cinta, kesenangan, dan kasih sayang bagi anak-anak laki-laki dan perempuan dengan kecintaan yang sama, tanpa mengistimewakan dan membeda-bedakan di antara keduanya. Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu ber bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. al-Hujurat: 13).
Apabila para pendidik secara umum dan orang tua pada khususnya memiliki tanggung jawab yang besar dalam perkembangan anak, agar berkembang secara lurus dan benar di atas cahaya akidah serta manhaj islamiyah, harapannya agar mereka menjadi para pejuang dan pahlawan di masa yang akan datang, maka tiada tindakan lain yang mesti mereka kerjakan melainkan harus mengenal manhaj dari guru besar dan pendidik manusia yang mana beliau telah mendidik putri-putrinya, keturunannya dan yang lain-lain dari anak-anak sahabat. Kemudian menempuh jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW itu akan muncul bangunan umat yang agung dan berjaya turun-temurun yang kita tidak akan kehilangan generasi semacam itu, melainkan jika kita kehilangan prinsip tersebut.
Di sini kami akan meringkas pembahasan tentang Rasul sebagai ayah dan kakek dengan sub pokok bahasan :
- Rasul adalah ayah yang mencintai anaknya
- Rasul adalah ayah yang tegas
RASUL ADALAH AYAH YANG MENCINTAI ANAKNYA
Allah telah memberikan fitrah bagi kedua orang tua untuk mencintai anak, menyayanginya, dan memperhatikan urusannya. Seandainya tidak ada rasa cinta tersebut, bagaimana bisa orang tua bersabar untuk menjaga anak-anaknya, mendidik mereka, dan menjaga kemaslahatannya.
Hati yang kosong dari kecintaan terhadap anak-anak dan kasih sayang terhadap mereka adalah hati yang nyeleneh disifatkan dengan hati yang kasar dan keras. Kebanyakan apa yang menimpa anak yang memiliki orang tua seperti ini, kekerasan sikap orang tua justru berakibat perilaku menyimpang pada mereka dan kebodohan serta kesengsaraan yang mereka dapati. Sebab sejak anak dilahirkan dia selalu butuh adanya orang yang menemaninya, merangkulnya, yang menunjukkan dirinya, yang bermain dan bersenda gurau bersamanya.
Seharusnya, kita mengetahui bahwa segala sesuatu itu berguna bagi anak, sehingga ada perasaan yang kuat untuk mencintai mereka dalam hati ibu dan ayah yang tersembunyi. Bahkan, kecintaan tersebut harus ditampakkan dan dapat dirasakan oleh anak dengan berbagai macam metode dari waktu ke waktu.
Untuk itulah, kita dapatkan bahwa Rasulullah SAW kecintaannya kepada putrri-putrinya dan keluarganya adalah sebaik-baik contoh, yang mana Rasulullah SAW adalah seorang ayah yang bergaul dengan anak-anaknya sebagai seorang ayah yang memiliki sifat lembut, cinta, sayang, belas kasih, baik, menolong, penuh perhatian dan menjaga mereka hingga kecintaan beliau menjadikan orang lain tercengang dan penasaran.
‘Aisyah Ummul Mukminin r.a. berkata, “Ada orang Arab yang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Sesungguhnya anda mencium anak-anak Anda padahal kami tidak pernah menciumi mereka?’ Maka Rasulullah SAW bersabda:
“Apa yang dapat aku perbuat jika Allah telah mencabut kasih sayang di hatimu?”[3]
Dan diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali, sedangkan di sisinya ada al-Aqra’ bin Hajis at-Tamimi. Maka berkatalah al-Aqra’, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh anak namun belum pernah aku mencium salah seorang di antara mereka.” Maka Rasulullah SAW mengarahkan pandangannya kepadanya seraya bersabda:
“Barangsiapa yang tidak menyayang maka tidak akan disayang.”[4]
Adalah Rasulullah SAW apabila putrinya Fathimah r.a. masuk ke dalam rumah, beliau menyambutnya dan menghampiri anaknya kemudian menciumnya seraya berkata, “Selamat datang wahai putriku.” Kemudian beliau mendudukkannya di tempat duduk beliau.[5]
Bahkan sikap lemah lembut dan kecintaan luar biasa yang mengisi hati Nabi sebagai ayah tersebut tidak hanya sebatas kepada para putrinya saja tetapi juga kepada cucu-cucu beliau SAW, bahkan bagi anak-anak kaum muslimin secara umum sebagaimana yang akan kita lihat.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Usamah bin Zaid bin Haritsah berkata, “Adalah Rasulullah SAW menyambutku dan mendudukkan aku di atas pahanya sedangkan Hasan dipangku di atas paha yang satunya, kemudian beliau merangkul kami berdua seraya berdoa:
“Ya Allah, sayangilah keduanya karena sesungguhnya aku menyayangi mereka berdua.”[6]
Dari Buraidah r.a., ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah SAW berkhotbah kepada kami, tiba-tiba datanglah Hasan dan Husein (keselamatan semoga tercurah kepada mereka berdua). Mereka berdua mengenakan pakaian merah dan berjalan ke sana ke mari hingga tersandung. Maka Rasulullah SAW turun dari mimbar dan menggendong keduanya dengan tangannya, kemudian bersabda:
“Benarlah firman Allah, ‘Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah sebagai ujian bagimu.’ (QS. at-Taghabun: 15), aku melihat dua anak ini yang sedang berjalan-jalan hingga tersandung sehingga aku tidak bersabar hingga aku menghentikan ucapanku dan aku angkat kedua anak ini.”[7]
Dalam riwayat al-Bukhari juga, dari Abu Qatadah berkata, “Rasulullah SAW keluar menjumpai kami sedangkan di depan beliau ada putri Abul ‘Ash yang berada di atas bahunya. Kemudian beliau shalat, apabila sedang ruku’ beliau meletakkan anak tersebut dan apabila beliau berdiri beliau angkat anak tersebut.[8]
Suatu ketika Rasulullah menjulurkan lidahnya kepada Hasan ketika melihat merahnya lidah beliau maka Hasan bersegera menuju ke arah beliau.
Pada suatu saat, Rasulullah SAW mengunjungi orang-orang Anshar, maka tatkala beliau mendatangi rumah mereka berdatanganlah anak-anak kecil kaum Anshar mengelilingi beliau kemudian beliau mendoakan mereka seraya mengusap kepala mereka serta mengucapkan salam kepada mereka.
Semua itu merupakan pertanda kecintaan, kedekatan, dan kasih sayang yang ada dalam hati Rasulullah SAW kepada seluruh manusia agar dijadikan pelajaran, bahkan pelajaran bagi setiap bapak dan ibu. Pembahasan ini mari kita akhiri dengan hadits yang mulia, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Kami masuk bersama Rasulullah SAW di rumah Abu Saif al-Fain di sana ada seorang dha’run[9] yang membawa Ibrahim, maka Rasulullah SAW mengambil anaknya Ibrahim dan menciumnya. Setelah itu dalam kesempatan lain, kami datang sedangkan lbrahim telah meninggal, maka hal itu membuat Rasulullah meneteskan air mata. Maka berkatalah lbnu ‘Auf, “Anda juga menangis ya Rasulullah?“ Beliau bersabda, “Wahai lbnu Auf, ini adalah rahmat.”
Kemudian yang lain turut menangis. Lalu Rasululullah bersabda:
“Sesungguhnya mata itu menangis dan hati bersedih, akan tetapi aku tidak mangatakan sesuatu kecuali yang diridhai Allah, sesungguhnya perpisahan kami denganmu wahai Ibrahim membuat kami bersedih.”[10]
Takdir Allah menghendaki bahwa wafatnya Ibrahim tersebut bersamaan dengan gerhana matahari, sehingga kaum muslimin menyangka bahwa gerhana tersebut dikarenakan wafatnya lbrahim. Maka seorang ayah yang sedih karena kematian anak dan penghibur hatinya tersebut bersabda:
“Tidak demikian… Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah di antara tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terjadi gerhana disebabkan oleh adanya kematian seseorang dan tidak pula bayi yang sedang lahir. Maka apabila kalian menyaksikannya berdoalah dan shalatlah hingga menjadi terang (selesai gerhana).”[11]
Sikap yang agung tersebut membuat tercengang salah seorang penyair nasrani yang bernama Ilyas Qanshal, ada yang mengatakan bahwa akhirnya ia masuk Islam. Dia gambarkan kekagumannya tersebut dalam sebuah sya’ir yang panjang yang membenarkan sikap Rasulullah SAW dan penyair ini sangat kagum dengan kejujuran Nabi SAW. Betapa beliau tidak mengaitkan kejadian tersebut dengan gerhana sebagaimana yang telah dikaitkan oleh orang-orang yang suka mengaitkan dan juga orang-orang yang suka berdusta. Dia berkata dalam sya’ir:
“Sesungguhnya aku mengenangmu wahai Nabi yang sedang sedih…
karena beratnya penderitaan dan kesusahan…
engkau menyayangi Ibrahim yang sedang berpisah ruhnya…”
Begitulah, Nabi SAW adalah teladan yang baik sebagai seorang bapak ketika hari dilahirkannya lbrahim. Hatinya gembira dan bersuka ria dan beliau menyembelih binatang sebagai peringatan atas lahirnya lbrahim. Beliau juga menjadi teladan sebagai seorang ayah yang bersabar di hari berpisahnya dengan lbrahim, beliau bersedih, dan meneteskan air mata akan tetapi beliau tidak mengatakan apa-apa kecuali yang diridhai Rabb-Nya Tabaraka wa Ta’ala.
RASUL ADALAH SEORANG AYAH YANG TEGAS
Telah kita sampaikan di muka bahwa kita menyimpulkan pembicaraan bahwa hati Nabi SAW menyimpan perasaan yang paling tinggi dan tulen dalam hal cinta, kasih sayang, lemah lembut, dan mengasihi anak-anak.
Begitu pula kami telah menjelaskan juga bahwa kebutuhan anak-anak terhadap unsur cinta dalam pendidikan sebagaimana kebutuhan mereka terhadap matahari dan makanan.
Di sini mengisyaratkan bahwa seluruh apa yang dikerjakan oleh guru dan pendidik manusia (Rasulullah SAW) berupa kecintaan, lemah lembut dan yang lain-lain terhadap anak-anak, semua itu masih dalam batas-batas yang seimbang dan tidak keluar dari hal-hal yang wajar. Tidak pula bertentangan dengan dasar-dasar Islam penyampaian dakwah, dan tegaknya masyarakat Islam. Sebab semua itu lebih penting bila dibanding perasaan cinta dan kasih sayang.
Oleh karena itu, kita mendapatkan bahwa Rasulullah SAW sebagai seorang ayah menghadapi putrinya, Fathimah ratu penduduk surga dan orang yang paling beliau cintai dengan sikap yang tegas dan keras tatkala beliau melihat di tangan Fathimah ada kalung emas hadiah dari Abu Hasan. Beliau marah dan tidak mau duduk serta tidak menyambut dengan mesra orang yang paling beliau cintai serta tidak menciumnya seperti biasanya. Bahkan beliau mengatakan dengan tegas:
“Apakah kamu ingin orang-orang akan berkata, ‘Putri Rasulullah membawa di tangannya kalung dari neraka’.”
Kemudian beliau SAW keluar dan tidak mau duduk. Maka putri yang dicintai ayahnya tersebut membawa kalung tersebut ke pasar dan beliau jual, selanjutnya beliau membeli budak dengan uang hasil penjualan kalung tadi, lalu beliau memerdekakan. Maka tatkala Nabi SAW mengetahui hal itu, beliau bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari neraka.”[12]
Tatkala Allah SWT menurunkan firman-Nya:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. asy-Syu’ara’: 214).
Rasulullah SAW berdiri untuk memberikan peringatan, dan pada awal dakwahnya untuk mengantisipasi segala hal-hal yang mungkin terjadi, maka Rasulullah SAW naik ke bukit Shafa kemudian dengan suara yang tinggi beliau menyeru putrinya Fathimah dan beberapa anggota kerabatnya, beliau bersabda;
“Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku apa yang aku miliki sesungguhnya aku tidak kuasa sedikit pun membantumu di sisi Allah.”[13]
Dalam riwayat hadits tentang seorang wanita al-Makhzumiyah yang mencuri pada zaman Rasulullah SAW, Anda akan melihat Rasulullah SAW sebagai seorang ayah bersikap dengan tegas dan konsekuen tanpa pandang bulu dalam menegakkan hukum Allah, sekalipun terhadap orang yang paling dekat dengan beliau. Beliau marah kepada orang yang dicintainya yakni Usamah bin Zaid, karena meminta Rasulullah SAW untuk membebaskan wanita al-Makhzumiyah tersebut. Hal ini disebabkan permintaan tersebut akan mengubah kebijaksanaan pertama dan akan membuka peluang dihilangkannya sanksi, maka Nabi SAW marah kepada Usamah karena Allah. Beliau kemudian bersumpah kepada Allah Ta’ala bahwa beliau akan menerapkan hudud (hukum) Allah sekalipun terhadap orang yang paling beliau cintai jika dia terjerumus dalam suatu kesalahan yang mengharuskan untuk dihukum, agar bisa dijadikan teladan.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Ummul Mukminin r.a. berkata, “Orang-orang Quraisy berhasrat untuk membebaskan wanita al-Makhzumiyah dari hukuman. Mereka berkata, “Siapakah yang berani mengatakan kepada Rasulullah SAW, dan siapakah yang bisa menyampaikannya selain Usamah kekasih Rasulullah SAW?” Maka Usamah menyampaikannya kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Apakah kamu ingin meminta agar hukum Allah ditolerir?” Kemudian beliau berdiri dan bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya sesatnya orang-orang sebelum kalian dikarenakan apabila yang mencuri adalah orang-orang yang mulia kedudukannya maka dibiarkan, akan tetapi manakala yang mencuri adalah orang-orang lemah mereka menegakkan hukum. Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku polong tangannya.“[14]
Di antara contoh gambaran sikap Rasulullah SAW sebagai ayah yang tegas terhadap anaknya Fathimah adalah bahwa beliau hidup bersama suaminya Ali bin Abi Thalib r.a. dengan kehidupan yang susah payah, beliau menarik penggiling hingga membekas di tangannya. Beliau mengambil air dengan qirbah dan beliau pikul hingga membekas di pundaknya, beliau menyapu rumah hingga kotor pakaiannya. Suami beliau adalah orang yang fakir sehingga tidak dapat mencarikan pembantu yang akan membantu pekerjaan Fathimah yang melelahkan. Ali bin Abi Thalib merasa tidak enak setiap kali melihat istrinya bersusah payah dan bekerja keras, sehingga beliau juga turut membantu istrinya pada sebagian pekerjaan yang memungkinkan baginya.
Ali bin Abi Thalib tergerak untuk mencari penyelesaian, hingga tatkala ada kesempatan pada suatu hari dia berkata kepada istrinya bahwa dia melihat ayah Fathimah yaitu Nabi Muhammad SAW telah kembali dari suatu peperangan dengan membawa banyak ghanimah dan tawanan. Beliau berkata, “Sungguh saya merasa susah wahai Fathimah hingga sesak dadaku, aku melihat beliau SAW membawa tawanan, maka mintalah kepada beliau agar dapat membantu pekerjaanmu.” Fathimah berkata, “Akan aku kerjakan insya Allah.” Kemudian beliau mendatangi Nabi SAW dan disambut oleh Nabi dengan sabdanya, “Ada keperluan apa engkau datang kemari wahai anakku?” Fathimah menjawab, “Aku datang untuk mengucapkan salam untuk ayah.” Beliau malu untuk mengutarakan permintaannya sehingga beliau kembali ke rumah. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW bersama-sama dan Ali mengutarakan permasalahan mereka berdua.
Maka bersabdalah Rasul seorang ayah yang tegas dan disiplin:
“Tidak demi Allah, aku tidak akan memberikannya kepada kalian sedangkan aku biarkan ahlus suffah dalam keadan kosong perut mereka. Aku tidak mendapatkan apa-apa untuk aku berikan kepada mereka, akan tetapi aku akan menjual tawanan tersebut dan aku berikan hasilnya kepada mereka.”[15]
Maka, kembalilah ratu wanita ahli surga dan putri Rasulullah SAW sedangkan dia tidak mendapatkan sesuatu apa pun yang ada pada ayahnya. Padahal Rasulullah SAW lebih mengutamakan kaum fakir dan orang yang membutuhkan daripada Fatimah, padahal beliau adalah orang yang paling dicintainya dan juga dalam kondisi yang sulit dan susah. Maka tiada akan bisa tidur kedua mata para bapak dan mereka yang bertanggung jawab memikirkan teladan ini. [WARDAN/DR]
Sumber: Mereka adalah Para Sahabiyat
Footnote:
[1] Lihat Sirah Ibnu Hisyam (I/264) dan Tarikh ath-Thabari (II/174).
[2] Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (Il/34).
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab, bab: Menyayangi Anak dan Menciumnya (Vll/75) dan Muslim dalam aI-Fadha’il, bab: Kasih Sayang Rasulullah SAW Terhadap Anak-Anak dan Keluarga, (no. 2317).
[4] Diriwayatkan oleh aI-Bukhari dalam aI-Adab, bab: Menyayangi Anak dan Menciumnya, (Vll/75) dan Muslim dalam aI-Fadha’il, bab: Kasih Sayang Rasulullah SAW Terhadap Anak-anak dan Keluarga, (no. 2318).
[5] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Fadha’il Ashhabun Nabi SAW, bab: Biografi Kerabat Rasulullah SAW (lV/209) dan diriwayatkan Muslim dalam Fadha’ilush Shahabah, bab: Keutamaan Fathimah binti Nabi SAW, (no. 2450).
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Fadha’ilu Ashhabun Nabi SAW, bab: Biografi Usamah bin Zaid. (lV/214).
[7] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam aI-Manaqib, bab: Biografi Hasan dan Husein. (no 3776) dan Abu Dawud dalam ash-Shalat, bab: Menghentikan Khutbah Karena Suatu Kejadian, (no. 1109), sanadnya shahih.
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam aI-Adab, bab: Menyayangi Anak dan Menciumnya (Vll/74).
[9] Yakni sebrang ibu yang menyusui anak orang lain dengan mendapat imbalan, sedangkan suami dari yang menyusui namanya dhi’ran.
[10] Diriwayatkan oleh at-Bukhari dalam aI-Jana’iz, bab: Sabda Nabi, “Sesungguhnya kepergianmu menjadikan aku sedih.” (II/84) dan Muslim dalam al-Fadha’il, bab: Kasih Sayang Rasulullah SAW Terhadap Anak-anak dan Keluarga, (no. 2315).
[11] Diriwayatkan oleh aI-Bukhari dalam aI-Kusuf, bab: Shalat Gerhana Matahari. (Il/23), dan diriwayatkan oleh Muslim dalam aI-Kusuf, bab: Panggilan Untuk Shalat Gerhana, (no. 910).
[12] Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam az-Zinah, bab: Makruh Bagi Wanita Menampakkan Perhiasan dan Emas.. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/275), dan al-Hakim dalam aI-Mustadarak (III/152) dan beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Syaikhaini dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dan hadits selengkapnya diriwayatkan oleh Tsauban r.a..
[13] Diriwayatkan oleh aI-Bukhari dalam Tafsiiru Suuratisy Syu’ara’, bab: Berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.. (Vl/17) dan Muslim dalam al-lman, bab: Firman Allah, Wa Andzir Asyiratakal Aqrabiin, (no. 208).
[14] Al-Bukhari dalam aI-Hudud, bab: Menegakkan Sanksi kepada yang Mulia dan yang Lemah, (VIlI/16) dan Muslim dalam al-Hudud, bab: Potong Tangan bagi Pencuri yang Berkedudukan Mulia dan yang Lain, (no. 1688).
[15] Lihat al-Bukhari dalam an-Nafaqat, bab: Pekerjaan Istri di Rumah Suaminya, bab: Pembantu Wanita, (VI/192) dan Muslim dalam adz-Dzikru wa ad-Du’a’. bab: Tasbih Di Awal Siang dan tatkala Hendak Tidur (2728) dan lihat pula al-Ishabah (VIII/159).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar