Hari Pahlawan 10 November diperingati sekaitan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur.
Pertempuran 10 November yang menjadi cikal bakal Hari Pahlawan menjadi perang terbuka terbesar Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan.
Lalu, di mana tempat baku tembak dan korban tewas pertama di Surabaya pada waktu itu? Berikut selengkapnya:
Pada Jumat 9 September 1945, pesawat-pesawat Inggris sengaja terbang menjatuhkan selebaran kertas dari udara ke seluruh penjuru kota Surabaya. Selebaran itu adalah ultimatum dari Inggris yang meminta para pejuang Surabaya untuk menyerahkan senjata pada 10 November 1945 paling lambat pukul 06.00 pagi.
Tak cuma itu, selebaran tersebut berisi pesan kepada siapa pun untuk menyerahkan orang yang bertanggung jawab atas tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945. Sudah dipastikan, saat itu amarah Britanita Raya sedang membuncah kepada arek-arek Suroboyo.
Namun, alih-alih takut, para pejuang dan pemuda dari seluruh Surabaya malah menantang Inggris untuk berjibaku atau perang terbuka.
Hal itu terungkapkan dalam pidato Bung Tomo pada 10 November 1945.
“Tuntutan itu, walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita… selama banteng-banteng Indonesia masih punya darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih… maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga,” ujarnya.
Sontak pidato yang disampaikan dengan semangat berapi-api lewat radio tersebut menyulut semangat arek-arek Suroboyo untuk tak gentar menghadapi ultimatum Inggris. Walau pasukan Inggris dilengkapi dengan senjata dan armada yang canggih kala itu, mereka pun siap bertarung habis-habisan mempertahankan harga dirinya sebagai bangsa Indonesia.
“Tuntutan itu, walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita… selama banteng-banteng Indonesia masih punya darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih… maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga,” ujarnya.
Sontak pidato yang disampaikan dengan semangat berapi-api lewat radio tersebut menyulut semangat arek-arek Suroboyo untuk tak gentar menghadapi ultimatum Inggris. Walau pasukan Inggris dilengkapi dengan senjata dan armada yang canggih kala itu, mereka pun siap bertarung habis-habisan mempertahankan harga dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Dalam berbagai kisah sejarah pertempuran 10 November diceritakan bahwa peristiwa itu menjadi perang terbuka terbesar Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan.
Menurut Merle Calvin Ricklefs, dalam A History of Modern Indonesia Since c.1300, tercatat setidaknya 6.000-16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya sebagai imbas dari pertempuran tersebut.
Sementara itu, taksiran Woodburn Kirby dalam The War Against Japan (1965), korban dari pihak sekutu sejumlah 600-2.000 tentara.
Lalu, di manakah tempat baku tembak dan korban tewas pertama di Surabaya pada waktu itu?
Nugroho Notosusanto dalam buku Pertempuran Surabaya terbitan 1985 menulis bahwa kontak senjata antara pejuang Surabaya dan tentara sekutu Inggris kali pertama terjadi di sekitaran Theater atau Bioskop Sampoerna dan Pabrik Rokok Liem Seeng Tee.
Jadi, pagi 10 November 1945, di sekitaran itu ada 100 pejuang yang terdiri dari Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan badan-badan perjuangan lainnya. Mereka kebanyakan berasal dari daerah Tambak Bayan, Nggringsing, Kebalen, dan Labuan.
Dari 100 orang tersebut, ada 20 pemuda bersenjata lengkap yang telah bergabung dua hari sebelumnya. Usia mereka 17-20 tahun dan umumnya menggunakan seragam tentara Jepang.
Mereka berkumpul tanpa ada yang mengoordinasi alias datang atas kehendak sendiri-sendiri dengan tujuan untuk mempertahankan daerah tersebut
Usai pesawat-pesawat pengebom Inggris melakukan bombardeman atau menjatuhkan bom ke kota Surabaya sejak pukul 10.00 WIB, kendaraan tank dan pasukan infranteri angkatan darat Britinia Raya lalu bergerak menelusuri jalan-jalan kota tersebut.
Mereka lalu bertemu dengan 100 pemuda yang sudah siap siaga di sekitaran Sampoerna Theater dan pabrik rokok Liem Seeng Tee. Kontak senjata pun terjadi, dan tentara Inggris yang kebanyakan berasal dari India itu berhasil merebut kawasan tersebut.
Dalam pemberitaan Suara Karya, Senin (11/11/1974), berjudul “Kisah Kapten Muslimin Tentang Pahlawan Tak Dikenal”, tercatat ada 7 pemuda yang gugur dalam pertempuran itu. Mereka kebanyakan berusia 17-18 tahun dan tanpa diketahui identitasnya.
Seperti yang ditulis Nugroho Notosusanto, para pejuang yang gugur di depan Sampoerna Theater adalah kelompok pejuang yang kali pertama gugur dalam pertempuran 10 November Surabaya, yang memberi makna penting bagi sejarah kemerdekaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar